Jumat, 08 Juni 2012

Pembuktian


Pasal 163 H.I.R. menentukan :
"Barang siapa mengatakan mempunyai barang suatu hak atau mengatakan suatu perbuatan untuk meneguhkan haknya atau untuk membantah hak orang lain haruslah membuktikan hak itu atau adanya perbuatan itu".
Dalam hal ini berarti apabila yang didalilkan (dikatakan) dibantah/disangkal maka yang mendalilkan wajib membuktikan, tapi apabila yang didalilkan tidak disangkal maka tidak perlu ada pembuktian.
Sesuai ketentuan Pasal 164 HIR/Pasal RBg. ada 5 macam alat-alat bukti, yaitu:
(a) bukti surat;
(b) bukti saksi;
(c) persangkaan;
(d) pengakuan;
(e) sumpah.

Bukti Surat
Ada 2 macam akta yaitu:
  • Akta otentik, sesuai dengan Pasal 165 H.I.R./Pasal 285 RBg., adalah surat yang dibuat oleh atau dihadapan pegawai umum yang berwenang untuk memberikan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapat hak dari padanya.
  • Akta dibawah tangan.
Ordonansi Tahun 1867 No. 29 memuat "ketentuan­ketentuan tentang kekuatan pembuktian dari pada tulisan-tulisan dibawah tangan dari orang-orang Indonesia atau yang dipersamakan mereka."
Pasal 2 Ordonansi menentukan :
"Barang siapa yang terhadapnya diajukan suatu tulisan dibawah dengan diwajibkan secara tegas mengakui atau menyangkal tanda langan, tetapi bagi ahli warisnya atau orang yang mendapat hak dari padanya cukuplah jika mereka menerangkan tidak mengakui tulsan atau tanda tangan itu sebagai tulisan atau tanda tangan orang yang mereka wakili."
Pasal 1 b Ordonansi tersebut berbunyi: "Tulisan­-tulisan dibawah langan, berasal dari orang-orang Indonesia atau orang-orang yang dipersamakan mereka yang diakui oleh mereka terhadap siapa tulisan-tulsan itu diajukan atau sebagai telah diakui memberikan terhadap para pembuktian yang sempurna seperti suatu akta otentik' Selanjutnya perlu dilihat juga Pasal 1875, 1876 dan 1877 KUH Perdata.

Bukti saksi
Dalam menimbang kesaksian hakim harus memperhatikan kesesuaian kesaksian saksi yang satu dengan lainnya, alasan atau sebab mengapa saksi-saksi memberikan keterangan tersebut, cara hidup, adat dan martabat saksi dan segala ihwal yang dapat mempengaruhi saksi sehingga saksi itu dapat dipercaya atau kurang dipercayai." (Pasal 172 H.I.R./309 R.Bg.)
Yang tidak dapat didengar sebagai saksi sesuai Pasal 145 H.I.R./172 (1) R.Bg. adalah :
a.  Keluarga sedarah dan keluarga semenda menurut keturunan yang lurus dari salah satu pihak.
b.  Suami atau istri salah satu pihak meskipun telah bercerai.
c.   Anak-anak yang umumya tidak diketahui dengan pasti bahwa mereka sudah berumur lima belas tahun.
d.  Orang gila walaupun kadang-kadang ingatannya terang.
Keluarga sedarah atau keluarga semenda tidak boleh ditolak sebagai saksi karena keadaan itu dalam perkara tentang keadaan menurut hukum sipil dan pada orang yang berpekara atau tentang suatu perjanjian pekerjaan.
Orang yang tersebut dalam Pasal 146 (1) a dan b HIR / pasal 174 ayat (1) R.Bg. tidak berhak minta mengundurkan diri dari pada memberi kesaksian dalam perkara yang tersebut dalam ayat dimuka.
Pengadilan negeri dapat mendengar diluar sumpah anak-anak atau orang-orang gila yang kadang­kadang terang ingatannya yang dimaksud dalam ayat pertama, akan tetapi keterangan mereka hanya dipakai selaku penjelasan saja.
Yang dapat mengundurkan diri untuk memberi kesaksian sesuai Pasal 146 ayat (I) H.I.R.adalah :
a.     Saudara laki-laki dan saudara penempuan, ipar laki-laki dan ipar perempuan dari salah satu pihak.
b.     Keluarga sedarah menurut keturunan yang lurus dan saudara laki-laki dan perempuan dari laki­-laki atau istri salah satu pihak.
c.      Sekalian orang yang karena martabatnya, pekerjaannya atau jabatannya yang sah diwajibkan menyimpan rahasia akan tetapi hanya semata-mata mengenai pengetahuan yang diserahkan kepadanya karena martabat, pekerjaan atau jabatannya itu.
Testimonium de auditu adalah keterangan yang diperoleh saksi dari orang lain, tidak didengar atau dialami sendiri. Kesaksian de auditu dapat dipergunakan sebagai sumber persangkaan.
Unus testis nullus testis yang berarti "satu saksi bukan saksi" adalah keterangan seorang saksi saja tanpa adanya bukti yang lain. Unus testis nullus testis harus dilengkapi dengan bukti-bukti lain untuk dapat membuktikan dalil yang harus di buktikannya.

Persangkaan
Persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang telah dianggap terbukti atau peristiwa yang dikenal kearah suatu peristiwa yang belum terbukti. Adapun yang menarik kesimpulan dapat Undang-undang atau Hakim.
Tentang persangkaan-persangkaan diatur dalam bab keempat buku keempat B.W, Pasal 1915 dan seterusnya.
Menurut Pasal 1916 B.W. persangkaan undang­undang ialah persangkaan yang berdasarkan suatu ketentuan khusus undang-undang, dihubungkan dengan perbuatan-perbuatan tertentu atau peristiwa-­peristiwa tertentu.
Persangkaan hakim sebagai alat bukti mempunyai kekuatan bukti bebas, apakah akan dianggap sebagai alat bukti berJ<.ekuatan sempuma atau sebagai bukti penulisan atau akan tidak diberi kekuatan apapun juga.

Pengakuan
Menurut Pasal 174 H.I.R./311 R.Bg.: "Pengakuan yang diucapkan dihadapan hakim menjadi bukti yang cukup untuk memberatkan orang yang mengaku itu, baik pengakuan itu diucapkan sendiri, baikpun diucapkan oleh seorang yang istimewa dirasakan untuk melakukannya."
Sesuai Pasal 175 H.I.R./312 R.Bg. pengakuan yang dilakukan diluar sidang diserahkan kepada pertimbangan hakim yang akan menentukan kekuatan mana akan diberikannya.
Pasal 176 H.I.R./ 313 R.Bg. memuat azas "Onsplitsbaar aveu" atau pengakuan yang tidak boleh dipisah-pisah, yaitu : "Tiap-tiap pengakuan harus diterima segenapnya dan hakim tidak bebas akan menerima bagiannya saja dan menolak bagian yang lain sehingga menjadi kerugian kepada orang yang mengaku itu melainkan jika orang yang berhutang untuk melepaskan dirinya menyebutkan bersama pengakuan itu, beberapa perbuatan yang nyata palsu" .

Sumpah
Ada dua macam sumpah:
- Sumpah yang dibebankan oleh hakim (sumpah penambah).
- Sumpah yang dimohonkan pihak lawan (sumpah pemutus).
Pasal 177 H.I.R/314 R.Bg.  menyatakan bahwa apabila sumpah telah diucapkan hakim tidak diperkenankan lagi untuk meminta bukti tambahan dari orang yang disumpah itu yaitu perihal dalil yang dikuatkan dengan sumpah termaksud.
Sumpah penambah diatur Pasal 155 ayat (1) H.I.R./ 182 ayat (1) R.Bg.   sebagai      berikut :
"Jika kebenaran gugatan atau kebenaran pembelaan melawan gugatan itu tidak menjadi terang secukupnya akan tetapi keterangan adalah sarna sekali ada dan tiada kemungkinan akan meneguhkan diG dengan upaya keterangan yang lain dapatlah Pengadilan Negeri karena
jabatannya menyuruh salah satu pihak bersumpah dihadapan hakim supaya dengan itu keputusan perkara dapat dilakukan atau supaya dengan itu keputusan perkara dapat dilakukan atau supaya dengan itu jumlah uang yang akan diperkenankan dapat ditentukan".
Dalam hal hakim akan menambah bukti baru dengan suatu sumpah penambah, harus dibuat dengan putusan sela lengkap dengan pertimbangan yang memuat alasan-alasannya.
Sumpah penaksir dilakukan untuk menentukan jumlah uang yang akan diperkenankan atau dikabulkan. Misalnya dalam hal telah terjadi kebakaran yang disebabkan oleh anak tergugat dan barang-barang penggugat musnah.
Pasal 156 H.I.R./ 183 R.Bg.  menentukan:
(1)     "Juga boleh walaupun tidak ada barang keterangan yang dibawa gugatan itu atau pembelaan yang melawannya, salah satu pihak mempertanggungkan kepada pihak yang lain. Sumpah dimuka hakim supaya keputusan perkara tergantung sumpah itu asal saja sumpah itu mengenai suatu perbuatan yang dilakukan sendiri oleh pihak yang alas sumpahnya keputusan perkara itu bergantung".
(2)     Jika perbuatan ini satu perbuatan yang dikerjakan oleh kedua pihak, bolehlah pihak yang enggan mengangkat sumpah yang dipertanggungkan kepadanya, mengembalikan sumpah itu kepada lawannya.
(3)     Barang siapa kepadanya sumpah dipertang­gungkan dan enggan mengangkatnya atau mengembalikan dia kepada lawannya ataupun juga barang siapa mempertanggungkan sumpah tetapi sumpah itu dikembalikan kepadanya dan enggan mengangkat sumpah itu harus dikalahkan.
Sumpah pemutus hanya dapat dimintakan oleh penggugat pada tingkat Pengadilan Negeri, yaitu dalam hal penggugat tidak mempunyai bukti apapun sedangkan tergugat menyangkal gugatan penggugat. Pasal 158 ayat (1) H.I.R./ 185 ayat (1) R.Bg.   menyatakan bahwa tentang hal mengangkat sumpah itu hams diucapkan dalam persidangan Pengadilan Negeri, kecuali jika hal dapat dilangsungkan karena ada halangan yang sah.
Dalam hal sumpah pemutus diminta diucapkan ditempat ibadah yang ditunjuk sehubungan dengan kepercayaan yang dianutnya, misalnya: di mesjid, gereja, vihara, atau kelenteng, maka sumpah dilakukan ditempat yang ditunjuk tersebut, dan dibuat berita acara tentang hal itu.
Biaya yang timbul sehubungan upacara sumpah   tersebut ditanggung oleh pihak yang perkara.
Pasal 158 ayat (2) H.I.R./ 185 ayat (2) R.Bg.   menentukan bahwa baik sumpah penambah maupun sumpah pemutus hanya dapat dilakukan apabila pihak lawan telah dipanggil dengan patut, dalam hal ia tidak hadir.
Fax, email, sms, fotocopy, rekaman dan sebagainya seiring dengan perkembangan teknologi, dapat diterima sebagai dugaan-dugaan, apabila dugaan-dugaan itu penting, seksama, tertentu dan sesuai satu sama lain dapat dijadikan alat bukti persangkaan.
Untuk perkara-perkara mengenai tanah, Hakim wajib memperhatikan SEMA No.7 Tahun 2001 tentang Pemeriksaan Setempat, yaitu agar Majelis Hakim melakukan pemeriksaan setempat atas obyek perkara, utamanya letak, luas dan batas tanah untuk mendapatkan penjelasan/keterangan secara terperinci atas obyek perkara agar putusan dapat dilaksanakan (tidak non executable). Apabila tanah terletak diwilayah pengadilan negeri lain, hakim memberitahukan pemeriksaan setempat kepada Ketua Pengadilan Negeri tempat tanah sengketa berada.
Dalam hal tanah sengketa berada didalam daerah hukum pengadilan negeri lain. Hakim dapat mendelegasikan kepada pengadilan negeri tempat tanah tersebut berada.
Sumber: Buku II Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata, MA RI, 2006, hlm. 40-43.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar